Penjaga Pertahanan Akhir NKRI Itu Bernama NU (Nahdlotul Ulama)

Penjaga Gawang NKRI Itu Bernama NU

Oleh Muhamad Mustaqim

Jika ada organisasi kemasyarakatan yang memiliki jumlah anggota terbesar di dunia, barang kali Nahdltul Ulama (NU) yang nomor satu. Betapa tidak, Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim ini, separuh lebih merupakan warga nahdhiyin.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) melalui exit poll pada 2013 pernah merilis data bahwa, dari 249 juta penduduk Indonesia yang mempunyai hak pilih, sekitar 36 persen atau 91,2 juta di antaranya mengaku sebagai warga NU. Meskipun demikian, Sekjen NU Helmy Faisal Zaeni mensinyalir bahwa jumlah warga NU lebih dari data LSI, bahkan bisa mencapai 120 juta (kompas.com). Jumlah ini sebanding dengan jumlah negara terbesar penduduknya ranking 10, yakni Jepang yang berkisar 126 juta jiwa.

Sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar, NU masih istiqamah untuk melestarikan marwah organisasi, yakni menjaga tradisi. Kebesaran NU tidak kemudian menyebabkan NU menjadi jumawa, mencoba melakukan ekspansi ideologi secara internasional. Inilah yang oleh Indonesianis asal Belanda Martin Van Bruinessen mengatakan bahwa NU adalah organisasi yang unik. NU meskipun besar, tidak berupaya menjadi organisasi internasional atau transnasional. Jika ada NU cabang istimewa (internasional) di berbagai negara, itu tidak lebih merupakan ikhtiar untuk memfasilitasi orang NU yang tinggal di luar negeri.

Di tengah serbuan ideologi transnasional yang berupaya menyatukan umat Islam ke dalam satu sistem kepemimpinan Islam (baca: khilafah), NU tidak tertarik. Ia tetap komitmen pada organisasi keagamaan yang memiliki basis masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, NU senantiasa komitmen untuk membangun perwujudan Islam damai di Indonesia.

NU adalah "penjaga gawang" bagi sebuah kesebelasan bernama Indonesia. Sebagai kiper, ia tahu tidak akan sepopuler striker. Bahkan ia sudah siap dihujat dicaci maki jika bola tidak terkondisikan, dan masuk ke gawang. Namun bagaimanapun, kesebelasan harus ada penjaga gawang di mana jabatan mulia itu harus ada yang memilih.

Mengapa penjaga gawang? 

Ada beberapa argumentasi yang mendasarinya. Pertama, sebagai penjaga gawang, NU tidak pernah "ngelabrak", menyerang benteng pertahanan lawan. NU senantiasa berdiri dan siaga di depan mistar gawang. NU itu mampu berdampingan dengan ajaran dan ideologi lain, tanpa harus menyalahkan dan menyerang yang lain. Selagi ia mau bersama membangun “rumah bersama” bernama Indonesia yang damai, maka NU sangat permisif.

Kedua, NU akan senantiasa mempertahankan jangan sampai gawang "Indonesia" itu jebol. Ketika bola itu datang menghantam, maka dengan sekuat tenaga, sampai titik darah penghabisan akan dipertahankan. Tidak ada kiper yang lari saat ancaman lawan mendera, bahkan saat pemain belakang lainnya tidak berada di tempat. NU akan senantiasa mempertahankan kedaulatan dan keutuhan negeri ini, meskipun nyawa taruhannya.

Lihatlah, bagaimana resolusi jihad menggelegar, mengobarkan semangat juang para santri dalam mempertahankan negeri. Atau, ketika NU mempertahankan tradisi keagamaan warisan para ulama yang mencoba dihancurkan atas nama tahayyul, bid’ah dan churafat. Atau ketika NU, dengan lapang dada menerima kebhinekaan yang akan terkoyak ketika Piagam Jakarta diberlakukan. Ketika datang ancaman yang akan memecah belah keutuhan bangsa, NU akan sekuat tenaga berjuang untuk tetap menjaga keutuhan bangsa ini.

Ketiga, ketika pada akhirnya gawang harus jebol, maka NU dengan legowo meminta maaf. Menjaga keutuhan bangsa ini tidaklah mudah, pada saatnya kita harus diuji dengan hal yang paling menyakitkan. Di saat NU merasa ada yang tidak tepat dalam upaya mempertahankan “gawang” persatuan, maka NU dengan terbuka meminta maaf. Gusdur sebagai PBNU pernah meminta maaf atas peristiwa tragedi 1965, meskipun NU pada saat itu juga sebagai korban. Garis tebalnya, demi keutuhan bangsa NU akan bersikap ksatria, memohon maaf dan saling memaafkan untuk sebuah sejarah hitam.

Keempat, sebagai penjaga gawang, NU memang tidak populer, apalagi jika dibandingkan dengan posisi penyerang. Penjaga gawang tidak mungkin punya prestasi mencetak gol di gawang lawan. jika ada, itu karena faktor x dan itu sangatlah jarang. Satu-satunya prestasi kiper adalah tidak kebobolan gol, yang itu sering kali tidak dianggap prestasi. Namun NU sudah siap untuk tidak populis. Ulamanya sering kali kalah populer dengan dai TV. Tapi, pilihan menjadi penjaga gawang adalah muruah organisasi yang harus senantiasa ditunaikan.

Menjelang satu abad hari lahir NU, kita berharap NU akan konsisten untuk menjaga gawang perdamaian dan persatuan, dengan tetap menjaga dan melestarikan nilai-nilai, tradisi dan khazanah yang telah diwariskan oleh para leluhur dan ulama.

Menjadi kiper yang tidak hanya menjaga, namun juga melakukan improvisasi strategi dan gerakan yang semakin dinamis. Sesuai dengan kaidah yang dianutnya, yaitu "al-muhafazhah alal qadimis shalih, wal akhdzu bil jadidil ashlah", senantiasa melestarikan tradisi lama yang baik, serta melakukan inovasi terhadap kebaruan yang lebih baik.

*) Penulis adalah Pengurus Cabang GP Ansor NU Demak.
Disqus Comments